Berawal dari Duisburger Zentralmoschee (Masjid Pusat Duisburg, Jerman), yang mengumandangkan adzan berpengeras suara hingga ke luar masjid, di akhir Maret 2020, kumandang adzan segera terdengar di lebih banyak kota di seluruh Jerman. Seperti kota Hannover, Wuppertal, Dortmund, Munich, dan masih banyak lagi. Jumlahnya mencapai seratusan masjid, bahkan kemudian diikuti oleh kota-kota lain di Eropa.
Walaupun tidak diperbolehkan disiarkan lima kali dalam sehari, melainkan sehari sekali, atau bahkan satu kali seminggu tergantung peraturan pemerintah setempat, bahana panggilan sembahyang ini banyak disyukuri oleh banyak muslim Jerman.
Di awal-awal pandemi, rumah-rumah ibadah tidak diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan keagamaan sama sekali selama beberapa waktu lamanya. Terasa sekali sepinya. Apalagi tak lama setelah lockdown berlangsung, umat Islam mulai menyambut bulan suci Ramadan serta Hari Raya Idul Fitri. Sebagai bentuk aksi solidaritas bagi umat beragama Islam, utamanya di bulan puasa, beberapa pemerintah kota memperbolehkan masjid untuk menyuarakan adzan lewat pengeras suara di luar masjid. Kabar gembira ini kemudian meluas, menjadi viral di luar Jerman dan Eropa, dirayakan hingga ke tanah air.
Suara adzan lewat pengeras suara di awal pandemi, sebenarnya bukan yang pertama di Jerman. Di kota terdekat dengan tempat kami sekeluarga tinggal, Düren, suara adzan lewat mikrofon telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Masjid Fatih, 500 meter jaraknya dari pusat kota, merupakan masjid pertama di Jerman yang mengumandangkan panggilan sholat dengan mikrofon.
Tahun 2008, ketika pertama kali tiba di kota Düren, suami saya dikejutkan oleh suara adzan di waktu Ashar yang membahana sampai ke stasiun kereta api di kota. Setelah lebih dari satu dasawarsa tinggal di kota-kota lain di Jerman, baru kali itu, terdengar suara adzan dari luar. Dan itu ternyata sudah berlangsung sejak tahun 1984.
Kota kecil Düren, berpenduduk sekitar 80 ribu jiwa, terletak di negara bagian Nordrhein-Westfalen. Negara bagian dengan penduduk muslim terbanyak di Jerman. Jumlahnya diperkirakan antara 1,3 – 1,5 juta jiwa di negara bagian ini. Banyak muslim Düren tinggal tidak jauh dari pusat kota. Daerah kantong penduduk muslim ditandai dengan banyak toko-toko dan rumah makan halal, serta masjid.
Masjid kebanggaan warga muslim kota, Masjid Fatih, mulai eksis pada tahun 1974. Masjid yang menempati bangunan bersejarah berbahan batu bata merah ini dulunya merupakan bangunan produksi dan gudang pabrik baja, lalu dialihfungsikan menjadi rumah ibadah muslim. Satu menara putih lancip khas minaret masjid Turki mengukuhkan jati dirinya sebagai masjid. Sebelum pandemi, sekitar 500 jamaah ikut menyelenggarakan shalat Jumat. Sedangkan, pada hari-hari raya, jumlah jamaahnya bisa mencapai dua ribu orang.
Masjid Fatih memiliki kompleks yang lumayan luas. Di dalam areal kompleks, tersedia lahan parkir untuk beberapa puluh mobil. Selain bangunan utama berisi ruang-ruang shalat, ruang wudhu, ruang-ruang kelas, dapur umum, serta kantor, ia pun memiliki sebuah aula, sebuah pusat kegiatan anak-anak muda, bengkel mobil, warung makan, serta sebuah toko kelontong dan bahan makanan halal. Aula masjid dimanfaatkan untuk acara-acara pernikahan. Ia menampung tiga ratusan orang saat buka puasa bersama setiap hari selama bulan Ramadhan. Bisa dibilang, sebelum pandemi covid-19, masjid ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan jamaah shalat Tarawih pun ‘meluber’.
Lalu bagaimana ceritanya masjid di sebuah kota kecil Jerman diperbolehkan mengumandangkan adzan lebih dari tiga dasawarsa lamanya?
Ketua komunitas masjid Fatih saat itu, Ahmet Kurt, menemukan ide mengumandangkan adzan keluar setelah membaca artikel Koran Tercüman, tentang kumandang adzan setiap Jumat di sebuah masjid baru di Wina, Austria. Beliau memutuskan mengajukan izin menyuarakan adzan kepada pemerintah kota Düren. Satu bulan kemudian, jawaban diterima. Masjid Fatih boleh mengumandangkan adzan lima kali sehari dengan radius suara maksimal 1.500 meter. Mikrofon pun dipasang di luar masjid. mengumandangkan adzan tiga kali dalam sehari: di waktu Zuhur, Asar, dan Maghrib. Pihak masjid sengaja memilih hanya menyiarkan adzan 3 kali dalam sehari agar tidak mengganggu penduduk di sekitarnya.
Momen suara muazzin bermikrofon pertama kali di Masjid Fatih menjadi peristiwa sejarah bagi jamaah Masjid Fatih saat itu. Diceritakan, lebih seratus orang berkumpul di halaman masjid untuk menjadi saksi sejarah. Masjid-masjid lain di Jerman kemudian belajar dari pengalaman Masjid Fatih. Berkonsultasi tentang bagaimana mengajukan izin mengumandangkan adzan melalui mikrofon. Pra pandemi, kira-kira 30-35 masjid di berbagai kota Jerman diperbolehkan mengumandangkan adzan berpengeras suara.
Tentu saja tidak semuanya mudah bagi pengurus Masjid Fatih. Awalnya sempat terjadi konflik. Beberapa pihak menyampaikan keberatan, yang berlanjut ke ranah hukum, hal itu sempat berlangsung empat tahun. Selama proses hukum berjalan, adzan tetap disiarkan lewat pengeras suara. Masalah hukum bisa diselesaikan baik-baik, sehingga kumandang adzan tidak lagi menjadi persoalan.
Kini, suara muazzin tiga kali sehari tidak saja menjadi ciri khas Masjid Fatih, melainkan juga kota Düren. Pengurus masjid yang selalu menjaga hubungan baik dengan pemerintah kota Düren sering mendapat acungan jempol dari para jamaahnya. Demikian pula dengan pemerintah kota, mereka dipuji karena sikap toleransinya.
Oleh : Irawati Prilia
Komentar