Turkeykarpet.com - Ekspor pemain sepak bola Indonesia ke luar negeri jadi barang yang sedang hangat usai Piala AFF 2020. Tetapi di balik itu ada yang tak kalah penting.
Asnawi Mangkualam, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, Elkan Baggott, dan Syahrian Abimanyu menjadi warna tersendiri dalam susunan pemain Timnas Indonesia yang tampil di Piala AFF 2020 yang berujung runner up untuk kali keenam.
Tak semua bisa tampil rutin mengisi line up, namun keberadaan pemain-pemain berlabel ekspor tersebut dianggap sebagai sinyal positif bagi sepak bola Indonesia.
Lantaran penampilan mengesankan pemain-pemain tersebut, rekan-rekan lain yang masih muda pun didorong merumput di luar negeri.
Pratama Arhan, Ramai Rumakiek, Alfeandra Dewangga, hingga yang lebih senior, Ricky Kambuaya, juga disarankan segera merapat ke klub-klub luar Indonesia.
Keberadaan talenta-talenta muda di skuad Garuda mendapat sorotan dari rival di Asia Tenggara. Pujian mengalir bagi para pemain dan tim.
Indonesia terlihat tak kekurangan bakat-bakat muda. Tampak selalu muncul pemain-pemain baru yang silih berganti muncul.
Egy Maulana Vikri mulai mendapat menit bermain di FK Senica (dok. FK Senica)
Namun ada sebuah ancaman yang senyap dan bisa menjadi masalah bagi perkembangan sepak bola nasional. Pembibitan pemain berkualitas jadi persoalan lain di antara banyak problem.
Tanpa pembibitan yang baik maka akan sangat sulit mengimpikan ada pemain-pemain Indonesia yang tampil di luar negeri.
Beruntung saat ini ada sosok Shin Tae Yong yang jelas-jelas mengaku membantu beberapa pemain Indonesia yang ingin gabung ke klub di Korea Selatan.
"Memang ada klub Korea yang tertarik pemain Indonesia, jadi memang bisa bantu dari belakang, agar pemain-pemain Indonesia bisa main di Korea," kata Shin Tae Yong yang ditemui di Jakarta, Kamis (6/1).
Tetapi tanpa pembibitan yang baik dan kualitas yang dibutuhkan dalam persaingan sepak bola internasional, pemain-pemain Indonesia hanya sekadar jadi pajangan dan alat pemasaran tim.
Setidaknya sekadar berlatih di luar bisa mendapat pengalaman berharga, namun juga disayangkan jika hanya setahun kemudian balik kandang.
Akan lebih baik jika pemain tersebut bisa mendapat menit bermain dan bahkan tentu jauh berguna seandainya main secara reguler.
Salah satu aspek pembibitan usia muda pula menjadi masalah yang sempat dikoarkan Shin Tae Yong. Pelatih kelas Piala Dunia itu mengeluhkan soal kemampuan operan pemain. Sebuah kritik kecil yang menampar.
Apa yang dikoarkan Shin bukan baru sekali ini saja terdengar. Soal kemampuan dasar pemain yang kembali jadi menu latihan dalam latihan tim nasional sudah pernah diutarakan pelatih-pelatih asing yang pernah menangani tim Merah Putih.
Lebih dari satu dekade lalu, Peter Withe dan Alfred Riedl, pernah mengomentari soal latihan dasar di level tim nasional.
Dengan ocehan Shin berarti permasalahan tersebut tidak pernah dibenahi selama bertahun-tahun, tetapi di sisi lain masih ada mimpi 'berani' yang menargetkan Timnas Indonesia menjadi juara di sebuah ajang atau menembus level Asia dan ikut Piala Dunia.
Masalah kemampuan teknik dasar dan hal-hal dasar lain dalam sepak bola menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan karena bakal menyangkut masa depan dan karier sang pemain. Bahkan bisa menentukan kualitas timnas.
Dengan kualitas pembibitan yang baik dan merata, maka akan muncul sebuah kekuatan sepak bola. Negara-negara dengan sepak bola yang maju, memiliki sistem pembinaan dasar yang ajeg.
Pelatih timnas Thailand, Alexandre 'Mano' Polking, yang baru saja mengantarkan Chanatip Songkrasin juara Piala AFF menekankan asosiasi sepak bola negeri Gajah Putih untuk membuat sebuah struktur sepak bola usia muda yang jelas jika mengimpikan Thailand bisa berbicara di pentas Asia atau dunia.
Jika pelatih di negara juara sepak bola ASEAN berpendapat demikian, maka Indonesia juga sudah barang tentu wajib untuk melakukan pembenahan serius di level usia muda.
Kurikulum sepak bola yang jelas dan kompetisi yang tertata rapi buat pemain dari level junior setidaknya adalah hal yang akan membentuk seorang pemain.
Hanya saja pembinaan usia dini membutuhkan banyak sumber daya dan tergolong sulit mencari sponsor. Selain itu juga jauh dari kepopuleran dan sulit mendapat sorotan. Sementara jika ada orang ingin mencari perhatian melalui sepak bola, maka mereka akan langsung memegang kendali klub, setidaknya kasta kedua.
Demi mendapat eksposur, sebuah produk atau seseorang, lebih memilih barang jadi yang bisa diartikan sebagai liga kelas satu atau pemain-pemain tenar.
Dengan konsekuensi sulit dan minim sorotan, tak banyak orang yang mau berkorban untuk bermain di level 'grass root' seperti ini.
Beruntung masih ada orang-orang atau badan yang mau bergelut menangani bocah-bocah dalam bentuk klub dan wadah kompetisi.
PSSI hendaknya tidak melupakan persoalan ini dan menggaungkan pembibitan usia muda secara berjenjang dengan baik agar kelak bisa bersaing di kancah internasional, tak cuma di Asia Tenggara dan setelahnya bersorak bangga ketika menjadi runner up.
Sumber : CNNIndonesia
Comments