Dalam kitab Minhaj al-Atqiya’ fi Syarhi Ma’rifat al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’, kiai Sholeh Darat menyajikan kisah menarik dari percakapan dua sufi besar dalam khazanah Islam. Mereka berdua ialah Syekh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H) dan muridnya Hatim al-Asham (237 H). Dua sufi yang juga guru dan murid ini terlibat dalam sebuah dialog yang sangat populer dalam khazanah tasawuf. Menurut Syaqiq al-Balkhi, penjelasan Hatim merupakan pelajaran pokok yang ditemukan dalam semua agama.
Suatu ketika, Syaqiq al-Balkhi bertanya tentang pelajaran apa saja yang diperoleh Hatim al-Asham selama 30 tahun. Kemudian Hatim al-Asham menjawab, “hanya 8 pelajaran yang saya peroleh.” Seketika sang guru menyesal, karena ia merasa usianya menjadi sia-sia dengan mengajar selama 30 tahun dan hanya menghasilkan 8 pelajaran yang diperoleh sang murid.
Akan tetapi, Syaqiq al-Balkhi kemudian bertanya apa sajakah ke delapan pelajaran tersebut. Kemudian Hatim al-Asham menjawab, “pertama, saya melihat semua makhluk (manusia) memiliki kekasih (sesuatu yang ia cintai), akan tetapi semuanya akan ditinggal saat mereka masuk ke liang kubur. Maka saya memilih ilmu dan perilaku yang baik sebagai kekasihku yang setia menemani hingga ke liang kubur”.
“Kedua, siapa saja yang takut atas siksa Allah dan mencegah nafsu keinginannya maka ia akan ditempatkan di surga. Maka saya berusaha untuk mencegah nafsu keinginan saya dengan mujahadah (berperang melawan hawa nafsu) agar dapat menjalankan ketaatan kepada Allah. Ketiga, setiap manusia memiliki sesuatu berharga yang mereka rawat dan simpan, tapi bagi saya setiap hal yang berharga akan saya serahkan kepada Allah, karena setiap yang disimpan manusia akan rusak dan segala hal yang berada di sisi-Nya akan abadi”, lanjutnya.
“Keempat, saya memandang setiap manusia kebanyakan melihat kemuliaan manusia dari harta, nasab dan kedudukannya. Sedangkan menurut Al-Quran, manusia yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Maka saya berusaha untuk selalu bertakwa agar berhasil menggapai kemuliaan. Kelima, saya melihat manusia saling iri dan dengki dalam memperoleh ma’isyah (penghidupan), maka saya meninggalkan perilaku itu karena urusan penghidupan sudah diatur oleh Allah”, Hatim menjelaskan.
“Keenam, saya melihat banyak manusia yang saling menganiaya dan bermusuhan, sedangkan musuh manusia yang sesungguhnya ialah setan. Sehingga saya sangat berhati-hati atas tipu daya setan dan menjauhi permusuhan sesama manusia. Ketujuh, saya memandang banyak manusia untuk secuil roti dengan menghinakan dirinya bahkan melakukan cara yang tidak halal. Sedangkan Allah melalui Al-Quran menjelaskan bahwa rizki makhluk sudah Ia dijamin. Sehingga aku hanya fokus atas kewajibanku kepada Allah”, tambah Hatim.
“Kedelapan, saya memandang banyak manusia yang berserah diri pada hartanya, lahannya, dagangannya, atau pekerjaannya. Sedangkan Allah memerintahkan manusia untuk berserah diri hanya kepada-Nya. Maka saya bertawakal kepada Allah dan menyerahkan segala sesuatu yang terjadi pada-Nya”, pumgkas Hatim.
Setelah mendengarkan penjelasan muridnya, Syaqiq al-Balkhi menegaskan, “sungguh saya telah mempelajari ilmu yang ada di kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Dari apa yang saya baca, sesungguhnya inti ajaran kebaikan berkisar pada delapan hal yang kamu sebutkan tadi. Maka siapapun orang yang melakukan delapan hal ini, maka ia telah mengamalkan ajaran empat kitab tersebut”.
Menyimak kisah ini, kita menemukan poin-poin penting yang menurut Syekh Syaqiq al-Balkhi merupakan ajaran kebaikan dari semua agama. Banyak pelajaran penting yang relevan dalam konteks kekinian. Sehingga umat Islam perlu memperhatikan hikmah dari kisah dialog dua sufi besar ini.
Terkait dua sufi besar ini, pertama, Hatim al-Asham mengajarkan tentang pentingnya ilmu dan perilkau yang baik. Selain bermanfaat di dunia, ilmu dan amal baik akan menjadi kekasih yang setia hingga setelah kehidupan dunia. Terutama tentu dorongan cinta ilmu yang semakin hari semakin menipis dalam kehidupan umat Islam.
Dalam kitab al-‘Allamat Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhi’u Lubnati Istiqlali Indunisiya, Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari menyebut bahwa “tidak ada kebaikan bagi bangsa yang anak-anak mudanya bodoh dan (oleh karenanya) sebuah bangsa tidak akan menjadi baik melainkan hanya dengan ilmu”. Sehingga tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, ilmu juga sangat bermanfaat bagi bangsanya. Terlebih disempurnakan dengan perilaku baik yang menjadi buah dari berilmu.
Kedua, penjelasan Hatim juga mengajarkan bahwa musuh utama manusia bukanlah sesamanya. Bukan mereka yang berbeda agama, ras, suku, atau bahkan sekedar pilihan politik. Akan tetapi nafsu keinginan diri sendiri dan tipu daya setan lah yang semestinya perlu diwaspadai. Sehingga dunia ini akan menjadi ruang perwujudan Islam yang rahmatal lil ‘alamin jika setiap muslim mampu menahan ego dan tipuan setan ke dalam perilaku buruk seperti saling menzalimi dan memusuhi.
Ketiga, paparan Hatim menegaskan kepada kita sebagai umat Islam bahwa kehidupan dunia ini tidak lepas dari aturan dan kehendak Allah. Oleh karenanya, umat Islam dalam menjalani segala hal di kehidupan dunia semestinya berorientasi, berserah diri, dan yakin kepada Allah. Seringkali ketakutan atas kemiskinan membuat kita menghamba pada harta, penguasa, atau pengusaha.
Menempatkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang mengatur jalannya kehidupan, justru akan membuat umat Islam lebih mandiri dan tidak tergantung secara ekonomi kepada yang lain. Implementasi atas prinsip tauhid sebagaimana yang digagas Hassan Hanafi dalam proyeknya al-Yasar al-Islami, ialah kesetaraaan dan kesamaan derajat manusia sebagai makhluk. Tiada yang lebih berkuasa dan dominan daripada yang lain. Karena satu-satunya Dzat yang paling berhak untuk berkuasa dan mendominasi hanyalah Allah.
Wallahu a’lam bis shawab.
Kommentare