top of page

Sejarah Kiblat Umat Islam


Sejarah mencatat bahwa salat lima waktu yang pertama kali diwajibkan pada Nabi dan beberapa sahabatnya yang sudah memeluk Islam itu diwajibkan pada tahun 11 kenabian Muhammad Saw. Pada waktu itu, salat yang pertama kali dikerjakan Nabi adalah Zuhur.


Sementara itu, wudhu sendiri diwajibkan sebelum kewajiban salat lima waktu, bahkan jauh sebelum salat lima waktu. Namun ada riwayat yang mengatakan bahwa wudhu disyariatkan pada tahun 10 kenabian.


Saat itu, kakbah merupakan kiblat untuk salat. Sekitar tahun 14 kenabian, Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Artinya, tahun 14 kenabian ini berepatan dengan awal hijrah Nabi. Pada bulan Rajab tahun ke-2 hijriah, barulah Nabi dan umat Muslim mengalihkan kiblat salat ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan.


Harapannya, umat Yahudi mau terketuk untuk memeluk Islam, karena umat Islam sendiri mengikuti kiblat mereka. Peralihan kiblat ke arah Baitul Maqdis itu, menurut Imam Thabari, merupakan wahyu langsung dari Allah, dan Nabi dibebaskan untuk memilih kiblat antara Kakbah atau Baitul Maqdis.


Akhirnya Nabi memilih Baitul Maqdis dengan alasan yang tadi disebutkan. Umat Yahudi sendiri, menurut Ibnu Asyur, sebenarnya tidak diwajibkan menghadap Baitul Maqdis, berbeda dengan umat Islam yang mana menghadap kiblat merupakan syarat sahnya salat.


Karena umat Yahudi selalu mencemooh umat Islam pada waktu itu dengan berkata, “Loh kok katanya umat Islam itu memiliki ajarannya sendiri yang berebeda dengan agama kita umat Yahudi, tapi kenapa mereka salatnya menghadap Baitul Maqdis?” Tidak rela umat Islam dicemoohkan demikian, akhirnya Allah menurunkan wahyu pada Nabi yang memerintahkan untuk menghadap Masjidil Haram kembali.


Perlu diketahui, istilah Masjidil Haram dalam ayat 114 surah al-Baqarah merujuk pada Kakbah. Istilah Kakbah dalam masyarakat Arab Jahiliyah dikenal dengan nama Baitul Haram atau Haram Makkah. Jadi istilah Masjidil Haram yang merujuk ke Kakbah merupakan istilah islami. Menurut Imam Ibnu Hajar, waktu itu Nabi sedang salat Zuhur sampai pada dua rakaat, kemudian perintah menghadap Kakbah turun. Akhirnya Nabi dan para sahabat berbalik arah dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram.


Dalam ayat 142 surah al-Baqarah, ada dua riwayat yang membicarakan siapa yang dimaksud sufaha terkait peralihan kiblat umat Islam. Pendapat pertama mengaakan bahwa sufaha yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi Bani Israel. Alasannya, umat Muslim memang pernah menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat ketika shalat. Hal itu terjadi selama kurang lebih satu tahun sekian bulan.


Sementara itu, Ibnu Asyur, penulis Tafsir at-Tahrir wat Tanwir, lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa sufaha yang dimaksud di atas adalah orang musyrik penduduk Mekah. Menurutnya, ayat 142 surah al-Baqarah ini masih berkaitan (munasabatul ayat) dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya, yaitu 140-141 surah yang sama, berbicara mengenai tentang agama Nabi Ibrahim dan kiblatnya.


Musyrik Quraisy mencemooh Nabi Muhammad dengan mengatakan demikian, “Katanya Muhammad itu mengikuti agamanya Nabi Ibrahim, tapi kenapa kiblatnya menghadap Baitul Maqdis, bukan Mekah?” Itu yang akan dikatakan sufaha. Hal ini terlihat dari sayaqulu yang menggunakan bentuk futur tense (kata kerja akan datang). Sufaha sendiri berarti bodoh dan dungu.


Hikmah perlahian kiblat sampai dua kali tersebut ditujukan untuk menguji keimanan umat Islam pada waktu itu. Mereka yang konsisten mengikuti Nabi akan selalu taat dan tidak curiga sedikit pun atas perlakuan Nabi yang kelihatannya inkonsisten. Selain itu, hal ini juga untuk memperlihatkan kepada Nabi bahwa hidayah itu mutlak milik Allah. Segala cara dan upaya apa pun yang dilakukan kepada umat Yahudi atau Nasrani untuk masuk agama Islam terlihat sia-sia bila Allah tidak menghendaki. Wallahu A’lam.





0 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

תגובות


bottom of page