Tetap Bersandar kepada Allah setelah Divaksinasi
- HERNADHI JAYA KARPET
- 19 Mar 2021
- 4 menit membaca

Indonesia mulai melakukan vaksinasi Covid-19 pada tanggal 13 Januari 2021 kemarin. Vaksinasi akan dilakukan secara bertahap dan beberapa daerah sudah mulai melakukan vaksinasi sebagai usaha dalam menghadapi pandemi. Vaksinasi ini sebagai salah satu bentuk usaha seseorang dalam menghadapi penyakit Covid-19. Seseorang yang divaksinasi berarti dia mengambil sebab untuk membentengi dan menjaga tubuh dari penyakit. Oleh karena itu, membahas tentang hal ini tidak lepas dari pembahasan terkait hukum pengambilan sebab.
Sebuah bukti kesempurnaan Islam adalah adanya aturan bagaimana seharusnya seorang muslim melakukan pengambilan sebab dalam berbagai kasus. Mengetahui hukum pengambilan sebab menjadi sangat penting karena seseorang yang tidak mengenal tentang hukum pengambilan sebab bisa terjatuh ke dalam maksiat, bidāah, dan bahkan kesyirikan.
Prinsip mendasar dalam pengambilan sebab
Ada tiga prinsip mendasar dalam pengambilan sebab, yaitu:
Pertama, tidak menjadikan sesuatu yang tidak terbukti secara syarāi atau qodari sebagai sebab. Syarat tambahan yang harus dipenuhi adalah sebab tersebut tidak boleh berupa sesuatu yang dilarang syariat.
Kedua, tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Taāala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin.
Ketiga, sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Taāala.
(Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105, karya Syaikh āAbdurrahman bin Naashir As-Saādi Rahimahullah)
Prinsip pertama
Tidak menjadikan sesauatu yang tidak terbukti secara syarāi atau qodari sebagai sebab. Syarat dibolehkannya sesuatu dijadikan sebab adalah sesuatu tersebut telah terbukti secara syarāi atau qodari. Terbukti secara syarāi adalah adanya dalil dari Alquran atau hadis yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut bisa dijadikan sebagai suatu sebab. Contohnya adalah rukiah, madu, dan habbatus saudaaā (Syarhu Muyassar li Kitaabit Tauhid, hal. 57, Abdul Malik Al-Qosim).
Di antara dalilnya adalah firman Allah Taāala,
ŁŁŲ®ŁŲ±ŁŲ¬Ł Ł ŁŁŁ ŲØŁŲ·ŁŁŁŁŁŁŲ§ Ų“ŁŲ±ŁŲ§ŲØŁ Ł ŁŲ®ŁŲŖŁŁŁŁŁ Ų£ŁŁŁŁŁŲ§ŁŁŁŁ ŁŁŁŁŁ Ų“ŁŁŁŲ§Ų”Ł ŁŁŁŁŁŁŲ§Ų³Ł
āDari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusiaā (QS. An-Nahl: 69).
Sedangkan terbukti secara qodari maksudnya adalah terbukti secara ilmiah dan/atau berdasarkan pengalaman yang jelas bahwa sebab tersebut menyebabkan suatu akibat terjadi. Contoh, berbagai macam pengobatan dalam bidang kedokteran yang telah terbukti secara ilmiah menimbulkan kesembuhan (At-Tamhiid, hal. 94, Syekh Shalih bin āAbdul āAziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh).
Melakukan sebab yang terbukti secara qodari bisa dihukumi halal atau haram. Apabila sebab yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak dilarang dalam syariat, maka mengambil sebab itu dihukumi halal. Misalnya, berdagang dengan cara yang diperbolehkan untuk mendapatkan penghasilan. Namun apabila sebab yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang dilarang syariat, maka hukumnya haram. Misalnya, mencuri untuk mendapatkan uang.
Dapat disimpulkan bahwa hukum seseorang yang tidak memenuhi prinsip pertama dari tiga prinsip mendasar dalam permasalahan pengambilan sebab ini dibagi menjadi 2, yaitu:
Pertama, syirik asghar (syirik kecil)
Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang tidak terbukti secara syarāi maupun qodari. Namun, orang tersebut masih meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Taāala. (At-Tamhiid, hal. 94, Syaikh Shalih bin āAbdul āAziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)
Kedua, maksiat dan tidak sampai tingkat kesyirikan
Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang terbukti secara qodari, akan tetapi haram dilakukan, dan orang tersebut meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Taāala.
Dalam kasus vaksinasi, apabila vaksin tersebut sudah terbukti secara ilmiah, maka termasuk ke dalam sebab qodari.
Prinsip kedua
Tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Taāala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Sebab yang ada hanyalah perantara karena pada hakikatnya Allah Taāala yang menjadikan sebab itu berpengaruh. Oleh karena itu, seseorang harus menyandarkan hati kepada Allah Taāala dan tidak boleh menyandarkan kepada sebab. Di samping penyandaran hati kepada Allah Taāala semata, seseorang wajib untuk melakukan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallaahu āanhu, Rasulullah Shallallahu āalaihi wa sallam bersabda,
Ų§ŲŲ±Ųµ Ų¹ŁŁ Ł Ų§ ŁŁŁŲ¹Ł ŁŲ§Ų³ŲŖŲ¹Ł ŲØŲ§ŁŁŁ ŁŁŲ§ ŲŖŲ¹Ų¬Ų²
āBersemangatlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah bersikap lemahā (HR. Muslim no. 2664).
Seseorang yang tidak memenuhi prinsip kedua ini, dia bisa terjatuh ke dalam syirik akbar apabila menyandarkan hati kepada sebab, bukan kepada Allah Taāala dan meyakini bahwa sebab tersebut yang berkehendak. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh bertawakkal atau menyandarkan hatinya kepada vaksinasi dan tidak boleh meyakini bahwa vaksin tersebut menyembuhkan atau mencegah penyakit dengan sendirinya, dan bukan atas kehendak dari Allah Taāala. Karena pada dasarnya, vaksin tersebut hanyalah sebab yang kita usahakan. Adapun yang menjaga kita adalah Allah Taāala. Kita tidak boleh bertawakkal kepada makhluk.
Prinsip ketiga
Sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Taāala Allah Taāala mampu untuk menjadikan suatu sebab yang terbukti secara syarāi maupun qadari berpengaruh agar seseorang mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya. Allah Taāala juga mampu untuk menjadikan sebab tersebut tidak berpengaruh agar hati seseorang tidak bergantung kepada sebab dan agar seseorang tersebut mengetahui kesempurnaan kekuasaan dan kehendak-Nya. (Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105-106, Syekh āAbdurrahman bin Naashir As-Saādi)
Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa sebab qodari tidak selamanya menyebabkan pengaruh adalah kisah Nabi Ibrahim āAlaihis salaam. Beliau āAlaihis salaam tidak terbakar oleh api walaupun secara qodari api itu terbukti bisa membakar dan menghanguskan. Allah Taāala berfirman,
ŁŁŲ§ŁŁ Ų§ŁŲŖŁŲ¹ŁŲØŁŲÆŁŁŁŁŁ Ł ŁŲ§ ŲŖŁŁŁŲŁŲŖŁŁŁŁŁŪ .ŁŁŲ§ŁŁŁŁ°ŁŁ Ų®ŁŁŁŁŁŁŁŁ Ł ŁŁŁ ŁŲ§ ŲŖŁŲ¹ŁŁ ŁŁŁŁŁŁŁ .ŁŁŲ§ŁŁŁŲ§ Ų§ŲØŁŁŁŁŁŲ§ ŁŁŁ ŲØŁŁŁŁŁŲ§ŁŁŲ§ ŁŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŲŁŁŁŁ Ł .ŁŁŲ§ŁŲ±ŁŲ§ŲÆŁŁŁŲ§ ŲØŁŁ ŁŁŁŁŲÆŁŲ§ ŁŁŲ¬ŁŲ¹ŁŁŁŁŁ°ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŲ§ŁŲ³ŁŁŁŁŁŁŁŁŁ.
āIbrahim berkata, āApakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.ā Mereka berkata, āDirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim, lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.ā Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hinaā (QS. Ash-Shaffat: 95-98).
Dan juga firman Allah Taāala,
ŁŁŁŁŁŁŲ§ ŁŁŲ§ ŁŁŲ§Ų±Ł ŁŁŁŁŁŁŁŁ ŲØŁŲ±ŁŲÆŁŲ§ ŁŁŁŲ³ŁŁŁ°Ł ŁŲ§ Ų¹ŁŁŁ°ŁŁ Ų§ŁŲØŁŲ±Ł°ŁŁŁŁŁ Ł .ŁŁŲ§ŁŲ±ŁŲ§ŲÆŁŁŁŲ§ ŲØŁŁ ŁŁŁŁŲÆŁŲ§ ŁŁŲ¬ŁŲ¹ŁŁŁŁŁ°ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŲ§ŁŲ®ŁŲ³ŁŲ±ŁŁŁŁŁ Ū
āKami berfirman, āWahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!ā Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugiā (QS. Al-Anbiyaā: 69-70).
Oleh karena itu, sehebat apapun sebab yang kita usahakan, kita harus tetap meyakini bahwa berhasil atau tidaknya sebab tersebut Allah Taāala yang menentukan. Tugas kita adalah berusaha (mengambil sebab), adapun hasil diserahkan kepada Allah Taāala. Begitu pula dalam kasus vaksinasi ini, keberhasilan vaksinasi tetap berada di bawah kehendak Allah Taāala.
Begitu indahnya Islam. Dalam Islam diajarkan, kita harus semangat berusaha seoptimal mungkin untuk mendapatkan kebaikan untuk tubuh dan hati kita. Termasuk dengan mengikuti program vaksinasi Covid-19 yang sudah terbukti secara ilmiah. Namun setelah melakukan berbagai usaha sebagai sebab tersebut, kita wajib tetap menyerahkan semua kepada Allah Taāala.
Wallahu aālam bish shawab.
Alhamdulillahilladzi bi niāmatihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu āala nabiyyina Muhammad wa āala alihi wa shahbihi wa sallam.
Comments