top of page

TRADISI ILMU DALAM PERADABAN MASJID



Ketika peradaban pasar (peradaban barat) menguasai suatu bangsa, mereka akan mengeksploitasi sumber daya alam dan mengkerdilkan penduduknya. Suku Indian, suku asli benua Amerika, kini menjadi suku minoritas setelah bangsa Eropa menjajah negeri mereka. Namun Islam, dengan peradaban masjidnya saat berkuasa di suatu wilayah, maka tak ada ekspoitasi, tak ada pembunuhan generasi, bahkan masyarakat di wilayah yang takluk pada kekuasaan Islam justru semakin berilmu dan beradab.


Islam telah menaklukkan berbagai macam penduduk, memberikan asas yang membangun pokok-pokok dasar universal yang menghimpun secara nyata. Peradaban Islam berasal dari berbagai penduduk. Pengetahuan dari berbagai bidang keahlian, peradaban Islam dengan berbagai bentuknya-yang mana kemajuan itu ikut pula dirasakan oleh sebagian penduduk dunia Islam mulai dari Persia, Turki, dan sebagainya-telah menjulang tinggi dalam bentuk peradaban. Peradaban Islam turut andil pula membina peradaban manusia yang toleran. Karena itu lahirlah berbagai macam penduduk dunia Islam yang terbentuk dari peradaban Islam.


Jika kita mengambil contoh dari negara Persia misalnya. Ketika Allah subhanahu wata’ala menaklukkan negara ini di tangan kaum muslimin, penduduk Persia bercampur baur dengan kaum muslimin. Mereka banyak mengetahui kebaikan Islam dan toleransinya. Islam adalah agama pesaudaraan dan persamaan, penuh kelembutan, dan saling berkasih sayang. Dengan demikian, secara suka rela mereka memeluk Islam. mereka memepelajari dan mempraktekkan bahasa Arab. Bahasa itu menjadi bahasa yang mereka cintai dan dipegang erat sehingga membantu mereka memahami Islam dengan baik dan mentadabburinya. Dalam waktu yang tidak lama, dari penduduk Persia lahirlah beragai macam disiplin ilmu arab Islam, mereka unggul dalam bidang hadits, fiqh, penulisan, syair, dll. Demikianlah hingga masa Abbasiah, pergerakan ilmu dan karya tulis dalam berbagai bidang keislaman terus berkembang.


Pertumbuhan generasi Islam yang baru ini, tak hanya terbatas pada agama dan bahasa saja,tapi juga unggul dan berkembang dalam bidang ilmu hayat, seperti kedokteran, astronomi, aljabar, arsitektur, dll sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Khawarizmi, Ibnu Zina, dan Al Biruni.


Ragib As Sirjani mengutip perkataan Az Zuhri bahwa Hisyam bin Abdul Malik berkata kepadanya, “siapakah ulama Mekah?”

Aku jawab, “Atha’”.

Di berkata lagi, “Siapakah ulama Penduduk Yaman?”

Aku jawab, “Thawus.”

Dia berkata,”Penduduk Syam?”

Aku jawab, “Makhul.”

Dia berkata,”Penduduk Mesir?”

Aku jawab, “Yazid Bin Abi Habib”

Dia Berkata, “Penduduk Jazirah?”

Aku berkata, “Maimun Bin Mahrawan.”

Dia berkata, ”Penduduk Khurasan?”

Aku Berkata, “ Adh-Dhahak Bin Mazahim.”


Lalu disebutkan bahwa Hisyam Bin abdul Malik berkata kepada Az Zuhri tentang daerah para ulama tersebut, apakah mereka semua dari kalangan Arab atau mawali (penduduk yang ditaklukkan)? Az Zuhri menjawab, “Mereka semua berasal dari mawali”. Hegemoni peradaban Islam yang menguasai suatu negeri, menjadikan penduduk negeri itu suka rela memeluk Islam, memperlajari Bahasa Arab, sehingga mereka semakin sejahtera, bahkan unggul dalam Ilmu agama, ilmu pengetahun, dan teknologi.


Bagaimanakah bentuk tradisi ilmu pada peradaban yang berbasis masjid? Dr Hamid Fahmi Zarkasi, ketua MIUMI Pusat, menyebutkan bahwa tradisi ilmu dalam Islam ditandai dengan tiga ciri sebagai berikut.

  1. Budaya menulis

Jika membaca biografi para ulama, kita mendapati bahwa teryata para ulama kita adalah penulis. Empat imam mazahab adalah penulis; imam Malik dengan Al Muwathonya. Imam Ahmad dengan musnadnya, imam syafi’i dengan Ar Risalahnya. Imam Bukhori dengan shohih Bukharinya. Imam Muslim dengan shohih muslimnya. Imam Ibnu Taimiyah dengan majmu fatawanya. Ibnu Taimiyah sebagai seorang ulama, sebagai seorang guru, sebagai seorang murobbi, maka dengan izin Allah subhanahu wata’ala dari tangan beliau lahirlah ulama dan penulis berikutnya yang kapasitasnya tak diragukan, yaitu Imam Ibnu Qoyyim dengan Zadul ma’adnya. Imam Al Gazali dengan Ihya ulumuddinya, kemudian diringkas oleh Imam Ibnu Qudamah dengan Minhajul Qosidin. Demikian pula syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan kitab tauhidnya.


Saat membuka biografi para ulama kontemporer, maka kita akan mendapati kitab karangan Syekh Fauzan, kitab tauhid 1, 2, dan 3, kitabul ilmi, karya Syaikh Utasimin, Sifat Sholat Nabi karya Syaikh Albani, ataupun Syekh Hasyim Asy’ari dengan kitab Adabul alim wal muta`allim.


Saat Imam Ahmad tengah sakit keras, ia masih memegang pena di tangannya. Murid-muridnya bertanya, “Wahai Imam Ahmad, sampai kapan Engkau akan memegang pena ini”? Imam Ahmad menjawab, “Saya akan masuk ke dalam kubur bersama pena saya ini”. Kebiasaan para ulama, mereka menyimpan siwak di telinga kirinya dan pena di telingan kanannya. Imam Nawawi, penulis buku Riyadusholihin, selama 2 tahun tidur sambil duduk agar dapat fokus menulis, dan mengurangi waktu tidurnya.


Tentang Ibnu jauzi, Al Muawaffiq Abdul Lathif berkata, “Setiap hari menulis empat buku (ukuran buku tulis) setiap hari sehingga karya tulisnya bertambah dari antara 50 hingga 60 jilid setiap tahun”. Bahkan dalam kitab Al Kuna Wa Al Alqab dikabarkan bahwa Imam Al Qummy mengabarkan bahwa apabila alat-alat penajam pensil yang digunakan untuk menulis hadits oleh Ibnu Jauzi dikumpulkan, sangat banyak jumlahnya. Ada yang menyarankan alat tersebut dilarutkan dan dipanaskan dengan air bekas untuk memandikan mayatnya, dan ternyata hal tersebut-benar-benar dilaksanakan. Namun setelah digunakan, ternyata alat-alat itu masih bersisa.


Ibnu Taimiyah, meniggalkan 500 karya tulis, bahkan ada muridnya yang mengatakan bahwa karya tulis Ibnu Taimiyah tak dapat dihitung lagi, bahkan oleh beliau sendiri. Ibnu Qoyyim, menyempatkan diri untuk menulis judul-judul karya tulis Ibnu Taimiyah (sekedar menulis judul-judulnya saja), ternyata Ibnu Qoyyim membutuhkan 22 halaman untuk sekedar menulis judul-judul buku yang ditulis oleh ibnu Taimiyah.


Beliau, Ibnu Taimiyah hidup di zaman ketika kezaliman merejalela, yang kata para ulama, bahwa zaman kita sekarang, sangat mirip dengan zamannya Ibnu Taimiyah, maka mari belajar tentang rekonstruksi peradaban yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan membeli dan membaca semua buku-buku beliau. Beliau hidup di zaman penguasa yang dzolim, sehingga Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara. Bahkan jika diakumulasikan dari seluruh umurnya, lebih banyak umur beliau yang dihabiskan di dalam penjara dari pada di luar penjara. Namun hebatnya beliau, meskipun sebagian besar hidupnya dihabiskan di dalam penjara, namun karya-karya beliau justru beliau tulis di dalam penjara. Ibnu taimiyah pernah berkata,”apa yang musuh-musuhku dapat lakukan terhadap ku, saat mereka memenjarakankua, maka itu adalah waktuku untuk berkhalwat dengan Allah subhanahu wata’ala, saat mereka mengasingkanku, maka itu adalah tamasyaku, dan saat mereka membunuhku, maka itu adalah syahidku, waktu pertemuanku dengan Allah subhanahu wata’ala”. Untuk seorang ibnu Taimiyah, dipenjara, itu adalah waktu berkhalwat dengan Allah subhanahu wata’ala, waktu produktif untk menghasilkan karya-karya tulis baru.


Para penguasa waktu itu menjadi geram dan keheranan dengan Ibnu Taimiyah. Meski dipenjara, namun wajahnya masih saja bahagia dan terus saja menulis. Karena kedengkian mereka, mereka menyita buku-buku beliau, pena dan kertasnya pun diambil dengan harapan Ibnu Taimiyah tak dapat menghasilkan karya apapun lagi di dalam penjara. Namun ternyata, begitulah seorang muslim, meskipun pena dan kertasnya diambil, maka ia membakar kayu, lalu mengambil arangnya, dijadikan arang itu sebagai pena dan dinding-dinding penjara sebagai kertasnya. Hingga saat Ibnu Taimiyah wafat, para muridnya kemudian menulis seluruh tulisan Ibnu Taimiyah yang ditulis di dinding penjara , dan ternyata saat dikumpulkan, tulisan beliau di dinding penjara itu setara dengan satu buku tersendiri. Demikian pula dengan Syekh Quthub yang juga menghabiskan umurnya di dalam penjara namun di sanalah ia menghasilkan karya fenomenalnya, ‘Fii zilalil Qur’an’.

  1. Budaya Diskusi

Ust. faudzil adhim menuliskan sebuah ungkapan bijak, “It is not important to know the fact, It is more important to understand what’s behind the fact”. Fakta itu tak penting, yang penting tau apa di belakang fakta tersebut. Saat melihat orang sukses, jangan hanya berhenti pada kekaguman dengan kesuksesannya, namun coba cari, apa rahasia dibalik kesuksesannya. Mengapa para ulama itu sangat produktif dalam menulis? Salah satu factor, karena mereka senang berdiskusi, talaqqi, langsung medatangi ahli ilmu.


Dr.Hamid Fahmi Syarkazi mengatakan, bahwa saat mereka sedang berdiskusi dengan guru mereka, Syaikh Naqib Al Attas, terkadang mereka lupa tidur. Dalam menuntut ilmu, harus ada budaya diskusi atau talaqqi langsung kepada guru. Ingat kisah Hanzala Radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh imam Muslim, saat berkata: “Hanzalah telah munafik! Hanzalah telah munafik!” Abu Bakar terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Hanzalah tersebut.


“Apakah yang telah kau katakan ini wahai Hanzalah?” Tanya Abu Bakar

“Wahai Abu Bakar, ketahuilah Hanzalah telah menjadi munafik. Aku ketika bersama Rasulullah aku merasakan seolah-olah surga dan neraka itu sangat begitu dekat. Aku menangis kerena takut neraka. Namun dirumah aku ketawa riang bersama anak-anak dan isteriku, hilang tangisku bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Aku telah menjadi munafik!” Ujar Hanzalah sambil teresak-esak.


Abu Bakar terkejut.“Kalau begitu aku pun munafik. Aku pun sama denganmu wahai Hanzalah”. Lantas, kedua-dua sahabat ini bersama-sama menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tangisan tidak berhenti. Mereka benar-benar ketakutan. Takut pada Allah subhanahu wata’ala. Takut azab neraka yang sedia menunggu para munafik. Hati mereka gementar. Sesampainya di hadapan Rasulullah, Hanzalah bersuara,“Wahai Rasulullah, Hanzalah telah munafik.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya. “Kenapa?”

“Ketika aku bersamamu ya Rasulullah, aku merasakan seolah-olah surga dan neraka itu sangat dekat. Lantas air mataku mengalir. Tapi, di rumah aku bersenda gurau keriangan bersama anak-anak dan isteriku. Tidakkah aku ini seorang munafik ya Rasulullah”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum dan bersabda,

“Demi yang jiwaku di tangan-Nya andai kalian tetap seperti kalian di sisiku dan terus berzikir niscaya para malaikat akan berjabat tangan kalian, walau kalian sedang berada di atas tempat tidur dan di jalan raya. Akan tetapi wahai Hanzalah, ada waktumu (untuk beribadah) dan ada waktumu (untuk duniamu)”.


Ada banyak pelajaran dari hadits tersebut, namun satu yang penulis ingin angkat; tradisi diskusi para sahabat. Ketika mendapatkan suatu permasalahan dalam agama, mereka langsung datang menemui gurunya. Imam syafi’i pun saat hafalnnya hilang, langsung diskusi kepada gurunya. “Wahai guru, mengapa hafalan saya hilang 1 juz (beliau telah hafal 30 juz Al Quran sejak umur 7 tahun)”?, gurunya pun dengan tenang bertanya, “apa yang sebelumnya Engkau lakukan?”


Syafi’i menjawab, “Tadi saya cuma berjalan ke pasar dan tanpa sengaja angin berhembus dan aurat seorang wanita tersingkap maka tak sengaja aku melihatnya”. Gurunya pun berkata, “ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan masuk pada hati yang bermaksiat”. Salah satu kunci sukses Imam Syafi’i dalam hidupnya, karena beliau menjaga tradisi diskusi, talaqqi kepada gurunya.


Itulah pentingnya program tarbiyah Islamiyah, agar terjaga tradisi ilmu, sanad keilmuan kita terjaga. Jelas gurunya siapa, jelas dari mana sumber ilmunya. Ustadz Ridwan Hamidi, Ketua MIUMI Jogja mengatakan, “Orang yang hanya belajar dari buku, maka ia akan punya pemahaman sekaku buku. Itulah Mengapa ada orang saat ini terlalu mudah mebid’ahkan, mengkafirkan, mengatakan si fulan ahlunnar. Salah satu sebabya karena ia hanya melazimi buku namun meninggalkan talaqqi atau diskusi dengan guru. Padahal Syekh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syekh Albani saat sholat berjama’ah, mereka saling mempersilakan satu sama lain menjadi imam dan tak saling mengatakan antum ahlul bid’ah. Padahal perbedaan pendapat diantara mereka dalam hal fiqh begitu banyak. Oleh karea itu, ‘belajar’ harus punya guru yang jelas sehingga keilmuannya dapat dipertanggungjawbkan.


Sebaliknya, orang yang hanya belajar dari internet (tanpa guru) maka pemahamannya akan cepat berubah secepat perubahan berita di internet. Ini juga jadi masalah tersendiri. Banyak orang sekarang ketika tidak tau sesuatu, tidak bertanya pada guru, namun lagsung bertanya pada Syaikh google. Padahal syaikh google itu belum tentu bisa dipertanggung jawabkan tulisannya. Siapa yang menulis? Dari mana sumbernya? Sekali lagi, sangat penting bagi seorang penuntut ilmu untuk punya majelis diskusi, majelsi talaqqi, majelis tarbiyah, sehingga keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Budaya Membaca

Mengapa Al Quran harus berbentuk buku? Ini adalah isyarat jelas bahwa kita harus membaca dan menelaahnya. Ust. Ihsan Zainuddin, salah satu penulis produktif di Makassar berkata, “Saya sering ditanya bagaimana caranya bisa menghasilkan banyak tulisan, simple saja beliau menjawab, dengan banyak membaca.


Betapa pentingya kedudukan buku dalam peradaban Islam. Kita tidak bisa hanya cukupkan diri dengan diskusi, talaqqi, dan ta’lim. Ini memnag jadi sumber pokok dalam menerima ilmu, namun tak boleh dilupakan pentingnya kedudukan buku dalam kehidupan seorang muslim.


Budaya baca adalah budaya para salafusholeh. Mereka adalah orang yang selalu rindu membaca. Ada istri seorang ulama yang mengatakan,”Kalau saya dimadu dengan tiga orang istri, rasanya lebih baik dari pada dimadu dengan buku. Ibnu Qoyyim menceritakan tantang Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah pernah sakit kemudian datang dokter untuk memeriksa sakitnya. ”Supaya Anda bisa sembuh, Anda harus berhenti membaca dan berbicara ilmu (istirahat total, pen). Ibnu taimiyah berkata, “Saya tidak bisa sabar unuk berhenti membaca dan menuntut ilmu. Saya tantang Anda! Bukankah seorang pasien apabila bila merasa gembira dengan satu hal, akan membantu kesembuhannya? Dan membaca adalah kebahagianku”. Dokter pun berkata,“Kalau itu di luar disiplin ilmu saya”.


Ibnu Qoyyim mengatakan, saya tau ada orang yang ketika ia menderita sakit kepala dan demam, ia letakan buku di dadanya, kalau agak ringan sakitnya, ia baca buku itu, namun kalau berat ia letakkan lagi bukunya, dst…. Karena cintanya pada buku sehingga tak bisa lepaskan diri dari bukunya. Siapakah ‘orang yang ditau’ oleh ibnu Qoyyim tersebut? Ulama belakangan berkata bahwa sebenarnya yang ‘orang yang ditau’ itu adalah dirinya sendiri.


Ibnu Jauzi seorang ulama dan penulis buku ‘talbis iblis’. Ia berkata tentang dirinya.

“Seandainya saya megatakan, saya sudah baca buku 21.000 jilid, maka jumlah sebenaranya lebih banyak dari itu. Jadi itu cuma perkitaan minimalnya. “Ketika saya membaca itu, saya masih dalam posisi belajar”.

  1. Membaca adalah kebutuhan

Membaca itu, bukan sekedar hobi, bukan sekedar sebagaimana dilakukan orang Barat yang saat di kereta pun membaca buku. Namun ada perbedan prinsipil antara membacanya kita sebagai muslim dengan orang Barat, yaitu mereka membaca hanya sekedar karena hobi namun kita membaca karena ibadah. Kita semua sudah tau bahwa dalil yang paling jelas tentang pentingnya membaca dalam kehidupan seorang muslim adalah ayat yang pertama kali turun, yaitu iqro’, bacalah. Membaca bukan sekedar penuhi hasrat hawa nafsuh, sekedar isi waktu luang, atau karena dahaga ingin tahu, namun kita membaca untuk dapat petunjuk kepada Allah subhanahu wata’ala. Jadi spirit muslim membaca adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.


Kita jangan jadikan membaca sekedar sebagai ibadah sunnah. Kalau kita masih jadikan membaca sebagi sunnah, kita akan berkata, “Kalau ada waktu saya akan membaca”. Namun jadikanlah membaca sebagai sebuah kewajiban bahkan kebutuhan. Kalau berkata kewajiban, memang benar, kalau kita tadabburi surah Al A’la, Iqro’, bacalah, ini fi’il amr dalam kaidah bahasa Arab. Kalimat perintah. Kalau Allah subhanahu wata’ala perintahkan, maka kita wajib laksanakan.


Lebih dari seledar kewajiban, membaca seharusnya kita tempatkan sebagai kebutuhan. Sebagaimana tubuh butuh makan untuk bisa kuat, hati butuh dzikir agar selalu hidup, maka otak butuh membaca agar dapat berkembang. Tubuh akan lemah jika tak diberi makan, hati akan mati jika tak berdzikir, maka otakpun akna kerdil bila tidak membaca.


Kalau kita telah menganggap membaca tidak sekedar hobi, tapi ibadah, bukan sekedar ibadah sunnah, tapi kewajiban, dan tak sekedar wajib, tapi kebutuhan, maka kita tak akan berkata, “kalau ada waktu luang saya akan membaca”. Karena sebagaimana kita butuh makan, adakah yang berkata, “Saya akan makan kalau ada waktu luang”? Begitu pulalah dengan kebutuhan otak untuk terus berkembang, ia butuh membaca.


Waktu membaca harus disediakan, waktu membaca itu harus direkayasa, misalnya, “saya tidak akan tidur tiap hari sebelum membaca setengah jam atau satu jam”. Imam Al khatib Al Baghdadi, ahli hadits dari Baghdad, merekayasa waktu membacanya saat sedang berjalan. Walau sedang berjalan, ia selalu membaca dan menelaah buku. Salah seorang syaikh, demi merekayasa waktu membacanya, ia telah menyiapkan buku di mobilnya. Setiap kali ia dapati lampu merah, maka ia akan sempatkan 1 atau 2 menit itu untuk membaca.

  1. Membaca butuh mujahadah

Imam Nawawi, dalam sehari, membaca dua belas buku pelajaran. Syaikh Al Bani bisa menjadi ulama dan menghasilkan banyak karya tulis, karena beliau datang sebelum penjaga perpustakaan datang dan pulang setelah penjaga perpustakaan pulang. Ibnu Taimiyah kalau mau mengkaji tafsir, maka beliau membuka 200 buku tafsir.


Para ulama, selain encer otaknya, kuat mujahadahnya. Encer otak mungkin masing-masing orang berbeda, namun membaca 200 buku, memperlama diri dalam perpustakaan, ini bisa kita usahakan. Asma nadia, seorang penulis buku produktif, menyebutkan bahwa dalam sehari ia mengkhususkan waktu untuk membaca 1-2 buku. Buku setebal 400-500 halaman dihabiskan dalam waktu tiga jam.


Sekarang, berapa buku yang telah kita khatamkan? Bagi para aktivis dakwah, kitab-kitab ushul; kitab Utsulu tsalasa sudah khatam? Kita tauhid syekh Muhammad bin abdul wahab sudah khatam? Kitab tauhidnya Syekh Fauzan, kitab Tauhid 1, 2, 3, telah khatam? Siroh nabawiyah telah kah kita khatamkan? Teman-teman yang dari jurusan kedokteran, sudah berapa banyak buku-buku kedokteran yang sudah dikhatamkan? Dari jurusan sastra, berapa bayak buku sastra yang telah dibaca? Teman-teman dari mipa,sudahberapa buka fisika, kimia, matematika yang sudah dibaca atau dikerjakan soal-soalnya? Ustadz Ilham Jaya mengatakan, sekarang bukan saatnya kita menjadi kutu buku, karena kutu itu sangat kecil. Namu jadilah predator buku, yang melahab setiap buku yang ada.


Para ulama menulis, karena banyak membaca, bukan banyak membaca karena mau menulis. Membaca seperti mengumpulkan memori. Semakin banyak membaca, kita seperti koleksi memori, semakin banyak koleksi memori, maka ini menjadi modal utama dalam menulis.


Mereka menulis bukan karena ingin jadi penulis, ingin terkenal, mendapatkan pujian, tepuk tangan riuh, atau popularitas, tetapi karena ada ilmu yang haru disampaikan, ada hikmah yang tak boleh tesembunyi dalam dada, ada ketakutan pada adzab jika sekedar sholeh bi nafsih, dan ada kebatilan yang harus dipadamkan, ada dakwah yang harus disampaikan. Mereka menulis sebagai niat ikhlas untuk berdakwah. Tinta dan pena bagi seorang muslim, adalah alat untuk berdakwah.


Inilah peradaban masjid yang diperagakan oleh kaum muslimin di masa kejayaan Islam; sebuah peradaban yang berbalut ilmu. Kaum muslimin hanya bisa membendung peradaban pasar dan mengembalikan peradaban masjid apabila mampu mengubah budaya nonton, budaya sinetron, main game, main domino, budaya tidur, dsb menjadi budaya menulis, diskusi, dan membaca.Wallahu ta’ala a’lam.


0 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Commentaires


bottom of page